PEMBAHASAN
PENGARUH KEBUDAYAAN TERHADAP JIWA KEAGAMAAN
A. TRADISI KEAGAMAAN DAN KEBUDAYAAN
Herskouits memandang kebudayaan sebagai
sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke generasi yang lain. Sementara,
menurut Andreas Eppink kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian nilai,
norma, ilmu pengetahuan, serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius
dan lain-lain. Sementara itu Corel R. E dan Melvin E. (seorang ahli antropologi
– budaya) memberikan konsep kebudayaan umumnya mencakup cara berpikir dan cara
berlaku yang telah menjadi ciri khas suatu bangsa atau masyarakat tertentu
(yang meliputi) hal – hal seperti bahasa, ilmu pengetahuan, hukum-hukum,
kepercayaan, agama, kegemaran makanan tertentu, musik, kebiasaan, pekerjaan,
larangan-larangan dan sebagainya.
Dengan demikian, kebudayaan adalah hasil daya
cipta, rasa, dan karsa manusia dengan menggunakan dan mengerahkan segenap
potensi batin yang dimilikinya. Di dalam kebudayaan tersebut terdapat
pengetahuan, keyakinan, seni, moral, adat istiadat sebagai aspek – aspek dari
kebudayaan itu sendiri yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam
melangsungkan kehidupan bermasyarakat. Dengan demikian, kebudayaan dalam suatu
masyarakat merupakan sistem nilai tertentu yang dijadikan pedoman hidup oleh
warga yang mendukung kebudayaan tersebut. Karena dijadikan kerangka acuan dalam
bertindak dan bertingkah laku, maka kebudayaan cenderung menjadi tradisi dalam
suatu masyarakat.
Tradisi menurut Parsudi Suparlan, merupakan
unsur sosial budaya yang telah mengakar dalam kehidupan masyarakat dan sulit
berubah. Meredith Mc Guire melihat bahwa dalam masyarakat pedesaan umumnya
tradisi erat kaitannya dengan mitos dan agama.
Secara garis besarnya tradisi sebagai kerangka
acuan norma dalam masyarakat disebut pranata. Pranata ini ada yang bercorak
rasional, terbuka dan umum, kompetitif dan konflik yang menekankan legalitas,
sebagai pranata politik, pranata pemerintahan, ekonomi dan pasar, berbagai
pranata hukum dan keterkaitan sosial dalam masyarakat yang bersangkutan. Para
ahli sosiologi menyebutnya sebagai pranata sekunder. Prananta ini dapat dengan
mudah diubah struktur dan peranan hubungan antarperanannya maupun norma-norma
yang berkaitan dengan itu, dengan perhitungan rasional yang menguntngkan yang
dihadapi sehari-hari. Prananta sekunder tampaknya bersifat pleksibel, mudah
berubah sesuai dengan situasi yang diinginkan oleh pendukungnya.
Melihat struktur dan peranan serta fungsinya,
prananta primer ini lebih mengakar pada kehidupan masyarakat. Oleh karena itu,
prananta primer bercorak menekankan pada pentingnya keyakinan dan kebersamaan
serta bersifat tertutup atau pribadi, seperti pranata-pranata keluarga,
kekerabatan, keagamaan pertemanan atau persahabatan.
Mengacu pada penjelasan tersebut, tradisi
keagamaan termasuk pranata primer. Hal ini dikarenakan antara lain menurut
Rodaslav A.Tsanoff, prananta keagamaan ini mengandung unsur-unsur yang
berkaitan dengan ke-Tuhanan atau keyakinan atau tindak keagamaan,
perasaan-perasaaan yang bersifat mistik, penyembahan kepada yang suci (ibadah),
dan keyakinan terhadap nilai-nilai yang hakiki. Dengan demikian, tradisi
keagamaan sulit berubah, karena selain didukung oleh masyarakat juga memuat
sejumlah unsur-unur yang memiliki nilai-nilai luhur yang berkaitan dengan
keyakinan masyarakat. Tradisi keagamaan mengandung nilai-nilai yang sangat
penting yang berkaitan erat dengan penganut agama yang dianut masyarakat, atau
pribadi-pribadi pemeluk agama tersebut.
Agama terlihat sebagai usat kebudayaan dan
penyaji aspek kebudayaan yang tertinggi dan suci, menunjukkan mode kesadaran
manusia yang menyangkut bentuk- bentuksimbolik sendiri. Sebagai sistem
pengarahan, agama tersusun atas unsur-unsur normatif yang membentuk jawaban
pada berbagai berbagai tingkat pemikiran, perasaan dan perbuatan dalam bentuk
pola berfikir dengan kompleksitas hubungan manusia dengan masyarakat, termasuk
lembaga-lembaga.
Dengan demikian, hubungan antara tradisi
keagamaan dengan kebudayaan terjalin sebagai hubungan timbal balik. Makin kuat
tradisi keagamaan dalam suatu masyarakat akan makin terlihat peran akan makin
dominan pengaruhnya dalam kebudayaan. Sebaliknya, makin sekular suatu
masyarakat maka pengaruh tradisi keagamaan dalam keehidupan masyatrakat akan
makin memudar.
B. TRADISI KEAGAMAAN DAN SIKAP KEAGAMAAN
Tradisi keagamaan dan sikap keagamaan saling
mempengaruhi, sikap keagamaan mendukung terbentuknya tradisi keagamaan,
sedangkan tradisi keagamaan sebagai lingkungan kehidupan turut memberi
nilai-nilai, norma-norma pola tingkah laku keagamaan kepada seseorang. Dengan
demikian, tradisi keagamaan memberi pengaruh dalam membentuk pengalaman dan
kesadaran agama sehingga terbentuk dalam sikap keagamaan pada diri seseorang
yang hidup dalam lingkungan tradisi keagamaan tertentu.
Sikap keagamaan yang terbentuk oleh tradisi
keagamaan merupakan bagian dari pernyataan jati diri seseorang dalam kaitan
dengan agama yang dianutnya. Sikap keagamaan ini akan ikut mempengaruhi cara
berpikir, cita rasa, ataupun penilaian seseorang terhadap segala sesuatu yang
berkaitan dengan agama, tradisi keagamaan dalam pandangan Robert C. Monk
memiliki dua fungsi utama yang mempunyai peran ganda. Yaitu bagi masyarakat
maupun individu. Fungsi yang pertama adalah sebagai kekuatan yang mampu membuat
kestabilan dan keterpaduan masyarakat maupun individu. Sedangkan fungsi yang
kedua yaitu tradisi keagamaan berfungsi sebagai agen perubahan dalam masyarakat
atau diri individu, bahkan dalam situasi terjadinya konfilik sekalipun.[1]
C. KEBUDAYAAN DALAM ERA GLOBAL, DAN PENGARUHNYA TERHADAP JIWA KEAGAMAAN
Era global umumnya digambarkan sebagai
kehidupan masyarakat dunia yang menyatu . karena kemajuan teknologi, manusia
antar negara menjadi mudah berhubungan baik melalui kunjungan secara fisik,
karena lat tranportasi sudah bukan merupakan penghambat bagi manusia untuk
melewat di berbagai tempat di seantero bumi ini
ataupun melalui pemamfaatan perangkat komunikasi .
Era global ditopang oleh kemajuan dan
kecanggihan teknologi menjadikan manusia seakan hidup dalam satu kota, kota
dunia. Batas kota sudah tidak menjadi penghalang bagi manusia untuk saling
berhubungan. Kehidupan mansia di era global saling pengaruh memengaruhi,
sehingga segala sesuatu yang sebelumnya dianggap sebagai milik suatu bangsa
tertentu akan terangkat menjadi miik bersama.
Dalam kaitannya dengan jiwa keagamaan, barang
kali dampak globalisasi itu dapat dilihat melalui hubungannya dengan perubahan
sikap. Menurut teori yang dikemukakan oleh Osgood dan Tannenbaum, perubahan
sikap akan terjadi jika terjadi persamaan persepsi pada diri seseorang atau
masyarakat terhadap sesuatu. Hal ini berarti bahwa apabila pengaruh globalisasi
dengan segala muatannya di nilai baik oleh individu maupun masyarakat, maka
mereka akan menerimanya.
Secara fenomena, kebudayaan dalam era global
mengarah kepada nilai-nilai sekuler yang besar pengaruhnya terhadap
perkembangan jiwa keagamaan. Meskipun dalam sisi-sisi tertentu kehidupan
tradisi keagamaan tampak meningkat dalam kesemarakannya. Namun dalam kehidupan
masyarakat global yang cenderung sekuler barangkali akan ada pengaruhnya
terhadap pertumbungan jiwa keagamaannya.
Dalam situasi seperti itu, bisa saja terjadi
berbagai kemungkinan. Pertama, mereka yang tidak ikut larut dalam pengaguman
yang berlebihan terhadap rekayasa teknologi dan tetap berpegang teguh pada
nilai – nilai keagamaan, kemungkinan akan lebih meyakini kebenaran agama.
Kedua, golongan yang longgar dari nilai-nilai ajaran agama akan mengalami
kekosongan jiwa, golongan ini sulit menentukan pilihan guna menentramkan
gejolak dalam jiwanya.
Era global diperkirakan memunculkan tiga
kecendrungan utama dalam kesadaran agama dan pengalaman agama. Kecendrungan
pertama, berupa arus kembali ke tradisi keagamaan yang liberal. Kedua,
kecendrungan ke tradisi keagamaan pada aspek mistis. Sedangkan, kecendrungan
ketiga, adalah munculnya gerakan sempalan yang mengatasnamakan agama.
1. AGAMA BUDAYA DAN BUDAYA AGAMA
Pakar antropologi budaya, Edward B. Taylor
mendefenisikan agama sebagai belive in supernaural being (percaya kepada wujud
yang adikodrati). Sedangkan Stanley Hall menilai agama bersumber dari tradisi
otemisme. Para agamawan terkesan sepakat dengan pembagian agama menjadi agama
samawi (agama langit) dan agama budaya. Agama samawi bersumber dari kitab suci
yang ajarannya disamaaikan oleh para rasul (utusan tuhan). Yang dimaksud dengan
agama budaya adalah agama yang lahir dari pemukiran atau perkembangan budaya
manusia. Kepercayaan kepada “sesuatu “ yang melahirkan sistem kepercayaan yang
secara umum disebut dengan” agama “ yang sejauh ini sebgaian besar pengalaman
manusia, ebih banyak berdasarkan atau berpusakan legenda dan mitologi.
2. SENTIMEN KEAGAMAAN
secara etimologis, sentimen diartikan sebagai
semacam pendapat atau pandangan yang berdasarkan perasaan ya berlebih-lebihan
terhadap sesuatu yang bertentangan dengan pertimbangan pikiran. Sebagai gejala
psikologis, sentimen menggambarkan luapan perasaan tidak puas atau benci
terhadap sesuatu yang dianggap menyalahi ataupun bertentangnan dengan kondisi
yang ada. Ataupun dianggap melecehkan sisitem nilai yang oleh pendukungnya
dianggap sebagaisesuatu yang benar dan perlu dipertahankan. Sentimen
berpengaruh dalam menimbulkan luapan perasaan yang pada tingkat tertetu dapat
menimbulkan reaksi.
3. KEGERSANGAN SPIRITUAL
Eksisensi manusia hanya akan dirasakan bila
manusia berada di ingkungnnya. Merasa diterima sebagai anggota. Namun
kegersangan spiritual mencabut manusia dari nilai-nilai kemanusiannya yang
hakiki. Menyebabkan manusia kehilangan harkat dan martabatnya. Seiring dengan
itu maka jati drinya melenyapkan. Ia bagaikan dalam ruang waktu yang “kosong” .
kegersangan spiritual dapat menimbulkan cacat “nurani”. Nilai-nilai kemanusiaan
terabaikan sama sekali. Mampu mengubah perilaku manusia menjadi kejam. Ingin
menunjukkan eksistensi dirinya melalui perbuatan yang tercela.
a. MEGALOMANIA
Rangkaian kemenangan yang diperoleh menjadikan
manusia lupa diri. Merasa serba perkasa. Semuanya kemudian terendap ke alam tak
sadar. Memupuk dan merunag dalam bentuk narsisi kekuasaan. Secara tak sadar
muncul dalam sikap megalomania. Gila kekuasaan. Sejarah mencatat sosok
megalomania, antara lain adolf hilter, idi amin, Saddam Husein, maupun George
Walker Bush. Michael Bigent mengatakan bahwa kemajuan, telah menghianati amanat
yang telah diberikan kepadanya. Ilmu pengetahuan yang semula diperkirakan akan menawarkan
prospek baru untuk usaha perbaikan hidup manusia malah justru memproduksi
alat-alat yang mengerikan untuk menghacurkannya. Dibalik itu pula berdiri
pengidap megalomania
b. KESERAKAHAN
Produk iptek menawakan kemewahan materi.
Kekayaan materi dijadikan indikator status sosial. Manusia semakain haus. Tak
pernah merasa puas, masing-masing saling berebut untuk memiliki
sebanyak-banyaknya yang mampu diusahakan. Memperkaya didi dengan cara apapun,
sementara nilai-nilai moral diabaikan. Manusia menjadi serakah. Gejolak resesi
ekonomi dunia tak dapat dilepaskan dari sifat serakah ini. Demi mengejar
kekayaan manusia kehilangan akal sehat.
Ditengah-tengah persaingan kemewahan, tanpa
memiliki kekayaan, manusia merasa kehilangan harga diri, perasaan ini yang mendorog
seseorang menjadi serakah. Hidup dalam kendali hawa nafsu yang lepas dari
kekangan nilai-niai moral.
c. MANUSIA ROBOT
Kegersangan spiritual menyebakan manusia ke
perilaku robotis. Bentuk perilaku yang robotis. Bentuk perilaku yang terkendali
secara mekanisme. Membeo dalam kata, meniru perilaku. Mengidentifikasi diri di
popularias sosok idoa.”terhipnotis” jadi sosok “ pak turut” berlomab-lomba, dan
tak mau ketinggalan dalam kegiatan bersepeda santai, hanya karena pejabat
setenpat melakukannya. Meniru dandanan perilaku para artis aau aktor kondang.
Perilaku jiplakan seperti ini tak lepas dari pengaruh sikap latah. Menempat
diri sebagai robot, manusia yang sudah kehilangan jati diri.
d. EUFORIA MASSAL
Kegersangan spiritual menyebabkan manusia
merassa dirinya terasing, merasa kesepian ditengah keramaian. Masyarakat
manusia sudah berubah jadi masyaakat massa( mass society) masyarakat yang
kehilangan solidaritas. Berubah menjadi masyarakat peguyuban ke patemban.
Masyarakat yang mengkedepankan kepentingan individu,” lu-lu, gue-gue.”
Sebagai makhluk sosial, perasaan terasig
merupakan “derita” batin bagi manusia. Untuk mengenyahkan perasaan ini.
Mendorong manusia menemukan teman senasib. Membentuk peer group dengan latar
belakng prfesi. Membauru didi bersama teman senasib sepenanggungan, menyat
dalam euforia massal. Apaun kegiatannya bukan masalah. Yang penting dapat
mengobati kegundahan batin. Tak heran berbagai club bermunculan, teruama
dikota-kota yang sudah terlanda peradaban modern.[2]
Argument:
Kebudayaan adalah hasil daya cipta manusia
yang di dalamnya terdapat pengetahuan, keyakinan, seni, moral, adat istiadat
sebagai aspek dari kebudayaan itu sendiri. Kebudayaan cenderung menjadi tradisi
dalam suatu masyarakat karena kebudayaan merupakan sistem nilai tertentu yang
dijadikan pedoman hidup oleh masyarakat.
Tradisi keagamaan memberi pengaruh dalam
membentuk pengalaman dan kesadaran agama sehingga terbentuk dalam sikap
keagamaan pada diri seseorang yang hidup dalam lingkungan tradisi keagamaan
tertentu. kebudayaan dalam era global mengarah kepada nilai-nilai sekuler yang
besar pengaruhnya terhadap perkembangan jiwa keagamaan. Dalam kaitannya dengan
jiwa keagamaan dampak globalisasi dapat dilihat melalui hubungan dengan
perubahan sikap, seperti hilangnya pegangan hidup yang bersumber dari tradisi
masyarakat dan bersumber dari ajaran agama.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Tradisi keagamaan sebagai pranata primer dari
kebudayaan memang sulit berubah, karena pranata tersebut disadari sebagai suatu
yang penting, karena menyangkut kehormatan, harga diri, dan jati diri
masyarakat pendukungnya. Adapun hubungan antara tradisi tersebut dan sikap
keagamaan adalah tradisi keagamaan memberi pengaruh dalam membentuk pengalaman
dan kesadaran agama sehingga terbentuk dalam sikap keagamaan pada diri
seseorang yang hidup dalam kehidupan tradisi keagamaan tertentu.
Istilah globalisasi sering digunakan untuk menggambarkan penyebaran dan
keterkaitan produksi, komunikasi dan teknologi diseluruh dunia. Penyebaran itu
menunjukkan kompleksitas kegiatan ekonomi dan budaya. Adapun pengaruh
kebudayaan dalam era gobalisasi terhadap jiwa keagamaanadalah apabila tidak
terjadi ketidak seimbangan antara kemajuan iptek dengan kemampuan individu yang
beragama daam mengahasilkan kebudayaan terutama kebudayaan materi. Maka
individu tersebut akan mengalami kekosongan rohani dan kegoncangan batin. Hal
ini mempengaruhi kehidupan psikologisnya sehingga ia akan memerlukan agama.
Adapun kemungkinan yang dapat dimungkinkan pada orang tersebut antara lain;
1.
Menyakini kebenaran agamannya
2.
Golongan yang longgar terhadap nilai-nilai
ajaran agama, yang meliputi
a.
Orang yang cenderung kembali ke tradisi
keagamaan yang liberal
b.
Orang yang cenderung kembali kedalam tradisi
keagamaan yang mistis
c.
Orang yang cenderung memunculkan gerakan
sempalan yang mengatas namakan agama.
DAFTAR PUSTAKA
Jaluddin. 2005. Psikologi Agama. Jakarta :
Rajawali Pers
Prof. Dr.H. Jalaludin. Psikologi Agama. Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada
No comments:
Post a Comment