Wednesday, 24 December 2014

PENGARUH KEBUDAYAAN TERHADAP JIWA KEAGAMAAN



PEMBAHASAN
PENGARUH KEBUDAYAAN TERHADAP JIWA KEAGAMAAN
A.    TRADISI KEAGAMAAN DAN KEBUDAYAAN
Herskouits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke generasi yang lain. Sementara, menurut Andreas Eppink kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian nilai, norma, ilmu pengetahuan, serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius dan lain-lain. Sementara itu Corel R. E dan Melvin E. (seorang ahli antropologi – budaya) memberikan konsep kebudayaan umumnya mencakup cara berpikir dan cara berlaku yang telah menjadi ciri khas suatu bangsa atau masyarakat tertentu (yang meliputi) hal – hal seperti bahasa, ilmu pengetahuan, hukum-hukum, kepercayaan, agama, kegemaran makanan tertentu, musik, kebiasaan, pekerjaan, larangan-larangan dan sebagainya.
Dengan demikian, kebudayaan adalah hasil daya cipta, rasa, dan karsa manusia dengan menggunakan dan mengerahkan segenap potensi batin yang dimilikinya. Di dalam kebudayaan tersebut terdapat pengetahuan, keyakinan, seni, moral, adat istiadat sebagai aspek – aspek dari kebudayaan itu sendiri yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat. Dengan demikian, kebudayaan dalam suatu masyarakat merupakan sistem nilai tertentu yang dijadikan pedoman hidup oleh warga yang mendukung kebudayaan tersebut. Karena dijadikan kerangka acuan dalam bertindak dan bertingkah laku, maka kebudayaan cenderung menjadi tradisi dalam suatu masyarakat.
Tradisi menurut Parsudi Suparlan, merupakan unsur sosial budaya yang telah mengakar dalam kehidupan masyarakat dan sulit berubah. Meredith Mc Guire melihat bahwa dalam masyarakat pedesaan umumnya tradisi erat kaitannya dengan mitos dan agama.
Secara garis besarnya tradisi sebagai kerangka acuan norma dalam masyarakat disebut pranata. Pranata ini ada yang bercorak rasional, terbuka dan umum, kompetitif dan konflik yang menekankan legalitas, sebagai pranata politik, pranata pemerintahan, ekonomi dan pasar, berbagai pranata hukum dan keterkaitan sosial dalam masyarakat yang bersangkutan. Para ahli sosiologi menyebutnya sebagai pranata sekunder. Prananta ini dapat dengan mudah diubah struktur dan peranan hubungan antarperanannya maupun norma-norma yang berkaitan dengan itu, dengan perhitungan rasional yang menguntngkan yang dihadapi sehari-hari. Prananta sekunder tampaknya bersifat pleksibel, mudah berubah sesuai dengan situasi yang diinginkan oleh pendukungnya.
Melihat struktur dan peranan serta fungsinya, prananta primer ini lebih mengakar pada kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, prananta primer bercorak menekankan pada pentingnya keyakinan dan kebersamaan serta bersifat tertutup atau pribadi, seperti pranata-pranata keluarga, kekerabatan, keagamaan pertemanan atau persahabatan.
Mengacu pada penjelasan tersebut, tradisi keagamaan termasuk pranata primer. Hal ini dikarenakan antara lain menurut Rodaslav A.Tsanoff, prananta keagamaan ini mengandung unsur-unsur yang berkaitan dengan ke-Tuhanan atau keyakinan atau tindak keagamaan, perasaan-perasaaan yang bersifat mistik, penyembahan kepada yang suci (ibadah), dan keyakinan terhadap nilai-nilai yang hakiki. Dengan demikian, tradisi keagamaan sulit berubah, karena selain didukung oleh masyarakat juga memuat sejumlah unsur-unur yang memiliki nilai-nilai luhur yang berkaitan dengan keyakinan masyarakat. Tradisi keagamaan mengandung nilai-nilai yang sangat penting yang berkaitan erat dengan penganut agama yang dianut masyarakat, atau pribadi-pribadi pemeluk agama tersebut.
Agama terlihat sebagai usat kebudayaan dan penyaji aspek kebudayaan yang tertinggi dan suci, menunjukkan mode kesadaran manusia yang menyangkut bentuk- bentuksimbolik sendiri. Sebagai sistem pengarahan, agama tersusun atas unsur-unsur normatif yang membentuk jawaban pada berbagai berbagai tingkat pemikiran, perasaan dan perbuatan dalam bentuk pola berfikir dengan kompleksitas hubungan manusia dengan masyarakat, termasuk lembaga-lembaga.
Dengan demikian, hubungan antara tradisi keagamaan dengan kebudayaan terjalin sebagai hubungan timbal balik. Makin kuat tradisi keagamaan dalam suatu masyarakat akan makin terlihat peran akan makin dominan pengaruhnya dalam kebudayaan. Sebaliknya, makin sekular suatu masyarakat maka pengaruh tradisi keagamaan dalam keehidupan masyatrakat akan makin memudar.
B.     TRADISI KEAGAMAAN DAN SIKAP KEAGAMAAN
Tradisi keagamaan dan sikap keagamaan saling mempengaruhi, sikap keagamaan mendukung terbentuknya tradisi keagamaan, sedangkan tradisi keagamaan sebagai lingkungan kehidupan turut memberi nilai-nilai, norma-norma pola tingkah laku keagamaan kepada seseorang. Dengan demikian, tradisi keagamaan memberi pengaruh dalam membentuk pengalaman dan kesadaran agama sehingga terbentuk dalam sikap keagamaan pada diri seseorang yang hidup dalam lingkungan tradisi keagamaan tertentu.
Sikap keagamaan yang terbentuk oleh tradisi keagamaan merupakan bagian dari pernyataan jati diri seseorang dalam kaitan dengan agama yang dianutnya. Sikap keagamaan ini akan ikut mempengaruhi cara berpikir, cita rasa, ataupun penilaian seseorang terhadap segala sesuatu yang berkaitan dengan agama, tradisi keagamaan dalam pandangan Robert C. Monk memiliki dua fungsi utama yang mempunyai peran ganda. Yaitu bagi masyarakat maupun individu. Fungsi yang pertama adalah sebagai kekuatan yang mampu membuat kestabilan dan keterpaduan masyarakat maupun individu. Sedangkan fungsi yang kedua yaitu tradisi keagamaan berfungsi sebagai agen perubahan dalam masyarakat atau diri individu, bahkan dalam situasi terjadinya konfilik sekalipun.[1]
C.    KEBUDAYAAN DALAM ERA GLOBAL, DAN PENGARUHNYA TERHADAP JIWA KEAGAMAAN
Era global umumnya digambarkan sebagai kehidupan masyarakat dunia yang menyatu . karena kemajuan teknologi, manusia antar negara menjadi mudah berhubungan baik melalui kunjungan secara fisik, karena lat tranportasi sudah bukan merupakan penghambat bagi manusia untuk melewat di berbagai tempat di seantero bumi ini  ataupun melalui pemamfaatan perangkat komunikasi .
Era global ditopang oleh kemajuan dan kecanggihan teknologi menjadikan manusia seakan hidup dalam satu kota, kota dunia. Batas kota sudah tidak menjadi penghalang bagi manusia untuk saling berhubungan. Kehidupan mansia di era global saling pengaruh memengaruhi, sehingga segala sesuatu yang sebelumnya dianggap sebagai milik suatu bangsa tertentu akan terangkat menjadi miik bersama.
Dalam kaitannya dengan jiwa keagamaan, barang kali dampak globalisasi itu dapat dilihat melalui hubungannya dengan perubahan sikap. Menurut teori yang dikemukakan oleh Osgood dan Tannenbaum, perubahan sikap akan terjadi jika terjadi persamaan persepsi pada diri seseorang atau masyarakat terhadap sesuatu. Hal ini berarti bahwa apabila pengaruh globalisasi dengan segala muatannya di nilai baik oleh individu maupun masyarakat, maka mereka akan menerimanya.
Secara fenomena, kebudayaan dalam era global mengarah kepada nilai-nilai sekuler yang besar pengaruhnya terhadap perkembangan jiwa keagamaan. Meskipun dalam sisi-sisi tertentu kehidupan tradisi keagamaan tampak meningkat dalam kesemarakannya. Namun dalam kehidupan masyarakat global yang cenderung sekuler barangkali akan ada pengaruhnya terhadap pertumbungan jiwa keagamaannya.
Dalam situasi seperti itu, bisa saja terjadi berbagai kemungkinan. Pertama, mereka yang tidak ikut larut dalam pengaguman yang berlebihan terhadap rekayasa teknologi dan tetap berpegang teguh pada nilai – nilai keagamaan, kemungkinan akan lebih meyakini kebenaran agama. Kedua, golongan yang longgar dari nilai-nilai ajaran agama akan mengalami kekosongan jiwa, golongan ini sulit menentukan pilihan guna menentramkan gejolak dalam jiwanya.
Era global diperkirakan memunculkan tiga kecendrungan utama dalam kesadaran agama dan pengalaman agama. Kecendrungan pertama, berupa arus kembali ke tradisi keagamaan yang liberal. Kedua, kecendrungan ke tradisi keagamaan pada aspek mistis. Sedangkan, kecendrungan ketiga, adalah munculnya gerakan sempalan yang mengatasnamakan agama.
1.      AGAMA BUDAYA DAN BUDAYA AGAMA
Pakar antropologi budaya, Edward B. Taylor mendefenisikan agama sebagai belive in supernaural being (percaya kepada wujud yang adikodrati). Sedangkan Stanley Hall menilai agama bersumber dari tradisi otemisme. Para agamawan terkesan sepakat dengan pembagian agama menjadi agama samawi (agama langit) dan agama budaya. Agama samawi bersumber dari kitab suci yang ajarannya disamaaikan oleh para rasul (utusan tuhan). Yang dimaksud dengan agama budaya adalah agama yang lahir dari pemukiran atau perkembangan budaya manusia. Kepercayaan kepada “sesuatu “ yang melahirkan sistem kepercayaan yang secara umum disebut dengan” agama “ yang sejauh ini sebgaian besar pengalaman manusia, ebih banyak berdasarkan atau berpusakan legenda dan mitologi.
2.      SENTIMEN KEAGAMAAN
secara etimologis, sentimen diartikan sebagai semacam pendapat atau pandangan yang berdasarkan perasaan ya berlebih-lebihan terhadap sesuatu yang bertentangan dengan pertimbangan pikiran. Sebagai gejala psikologis, sentimen menggambarkan luapan perasaan tidak puas atau benci terhadap sesuatu yang dianggap menyalahi ataupun bertentangnan dengan kondisi yang ada. Ataupun dianggap melecehkan sisitem nilai yang oleh pendukungnya dianggap sebagaisesuatu yang benar dan perlu dipertahankan. Sentimen berpengaruh dalam menimbulkan luapan perasaan yang pada tingkat tertetu dapat menimbulkan reaksi.
3.      KEGERSANGAN SPIRITUAL
Eksisensi manusia hanya akan dirasakan bila manusia berada di ingkungnnya. Merasa diterima sebagai anggota. Namun kegersangan spiritual mencabut manusia dari nilai-nilai kemanusiannya yang hakiki. Menyebabkan manusia kehilangan harkat dan martabatnya. Seiring dengan itu maka jati drinya melenyapkan. Ia bagaikan dalam ruang waktu yang “kosong” . kegersangan spiritual dapat menimbulkan cacat “nurani”. Nilai-nilai kemanusiaan terabaikan sama sekali. Mampu mengubah perilaku manusia menjadi kejam. Ingin menunjukkan eksistensi dirinya melalui perbuatan yang tercela.
a.      MEGALOMANIA
Rangkaian kemenangan yang diperoleh menjadikan manusia lupa diri. Merasa serba perkasa. Semuanya kemudian terendap ke alam tak sadar. Memupuk dan merunag dalam bentuk narsisi kekuasaan. Secara tak sadar muncul dalam sikap megalomania. Gila kekuasaan. Sejarah mencatat sosok megalomania, antara lain adolf hilter, idi amin, Saddam Husein, maupun George Walker Bush. Michael Bigent mengatakan bahwa kemajuan, telah menghianati amanat yang telah diberikan kepadanya. Ilmu pengetahuan yang semula diperkirakan akan menawarkan prospek baru untuk usaha perbaikan hidup manusia malah justru memproduksi alat-alat yang mengerikan untuk menghacurkannya. Dibalik itu pula berdiri pengidap megalomania
b.      KESERAKAHAN
Produk iptek menawakan kemewahan materi. Kekayaan materi dijadikan indikator status sosial. Manusia semakain haus. Tak pernah merasa puas, masing-masing saling berebut untuk memiliki sebanyak-banyaknya yang mampu diusahakan. Memperkaya didi dengan cara apapun, sementara nilai-nilai moral diabaikan. Manusia menjadi serakah. Gejolak resesi ekonomi dunia tak dapat dilepaskan dari sifat serakah ini. Demi mengejar kekayaan manusia kehilangan akal sehat.
Ditengah-tengah persaingan kemewahan, tanpa memiliki kekayaan, manusia merasa kehilangan harga diri, perasaan ini yang mendorog seseorang menjadi serakah. Hidup dalam kendali hawa nafsu yang lepas dari kekangan nilai-niai moral.
c.       MANUSIA ROBOT
Kegersangan spiritual menyebakan manusia ke perilaku robotis. Bentuk perilaku yang robotis. Bentuk perilaku yang terkendali secara mekanisme. Membeo dalam kata, meniru perilaku. Mengidentifikasi diri di popularias sosok idoa.”terhipnotis” jadi sosok “ pak turut” berlomab-lomba, dan tak mau ketinggalan dalam kegiatan bersepeda santai, hanya karena pejabat setenpat melakukannya. Meniru dandanan perilaku para artis aau aktor kondang. Perilaku jiplakan seperti ini tak lepas dari pengaruh sikap latah. Menempat diri sebagai robot, manusia yang sudah kehilangan jati diri.
d.      EUFORIA MASSAL
Kegersangan spiritual menyebabkan manusia merassa dirinya terasing, merasa kesepian ditengah keramaian. Masyarakat manusia sudah berubah jadi masyaakat massa( mass society) masyarakat yang kehilangan solidaritas. Berubah menjadi masyarakat peguyuban ke patemban. Masyarakat yang mengkedepankan kepentingan individu,” lu-lu, gue-gue.”
Sebagai makhluk sosial, perasaan terasig merupakan “derita” batin bagi manusia. Untuk mengenyahkan perasaan ini. Mendorong manusia menemukan teman senasib. Membentuk peer group dengan latar belakng prfesi. Membauru didi bersama teman senasib sepenanggungan, menyat dalam euforia massal. Apaun kegiatannya bukan masalah. Yang penting dapat mengobati kegundahan batin. Tak heran berbagai club bermunculan, teruama dikota-kota yang sudah terlanda peradaban modern.[2]
Argument:
Kebudayaan adalah hasil daya cipta manusia yang di dalamnya terdapat pengetahuan, keyakinan, seni, moral, adat istiadat sebagai aspek dari kebudayaan itu sendiri. Kebudayaan cenderung menjadi tradisi dalam suatu masyarakat karena kebudayaan merupakan sistem nilai tertentu yang dijadikan pedoman hidup oleh masyarakat.
Tradisi keagamaan memberi pengaruh dalam membentuk pengalaman dan kesadaran agama sehingga terbentuk dalam sikap keagamaan pada diri seseorang yang hidup dalam lingkungan tradisi keagamaan tertentu. kebudayaan dalam era global mengarah kepada nilai-nilai sekuler yang besar pengaruhnya terhadap perkembangan jiwa keagamaan. Dalam kaitannya dengan jiwa keagamaan dampak globalisasi dapat dilihat melalui hubungan dengan perubahan sikap, seperti hilangnya pegangan hidup yang bersumber dari tradisi masyarakat dan bersumber dari ajaran agama.










PENUTUP
A.    Kesimpulan
Tradisi keagamaan sebagai pranata primer dari kebudayaan memang sulit berubah, karena pranata tersebut disadari sebagai suatu yang penting, karena menyangkut kehormatan, harga diri, dan jati diri masyarakat pendukungnya. Adapun hubungan antara tradisi tersebut dan sikap keagamaan adalah tradisi keagamaan memberi pengaruh dalam membentuk pengalaman dan kesadaran agama sehingga terbentuk dalam sikap keagamaan pada diri seseorang yang hidup dalam kehidupan tradisi keagamaan tertentu.
             Istilah globalisasi sering digunakan untuk menggambarkan penyebaran dan keterkaitan produksi, komunikasi dan teknologi diseluruh dunia. Penyebaran itu menunjukkan kompleksitas kegiatan ekonomi dan budaya. Adapun pengaruh kebudayaan dalam era gobalisasi terhadap jiwa keagamaanadalah apabila tidak terjadi ketidak seimbangan antara kemajuan iptek dengan kemampuan individu yang beragama daam mengahasilkan kebudayaan terutama kebudayaan materi. Maka individu tersebut akan mengalami kekosongan rohani dan kegoncangan batin. Hal ini mempengaruhi kehidupan psikologisnya sehingga ia akan memerlukan agama. Adapun kemungkinan yang dapat dimungkinkan pada orang tersebut antara lain;
1.          Menyakini kebenaran agamannya
2.          Golongan yang longgar terhadap nilai-nilai ajaran agama, yang meliputi
a.              Orang yang cenderung kembali ke tradisi keagamaan yang liberal
b.              Orang yang cenderung kembali kedalam tradisi keagamaan yang mistis
c.              Orang yang cenderung memunculkan gerakan sempalan yang mengatas namakan agama.

DAFTAR PUSTAKA
Jaluddin. 2005. Psikologi Agama. Jakarta : Rajawali Pers
Prof. Dr.H. Jalaludin. Psikologi Agama. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada



[1] Jaluddin. 2005. Psikologi Agama. (Jakarta : Rajawali Pers ) hal. 201-203
[2] Prof. Dr.H. Jalaludin. Psikologi Agama. (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada ) hal. 251

No comments:

Post a Comment